hanya satu jalan menuju allah
View RELIGION MISC at Universitas Terbuka. Didownload dari http:/www.vbaitullah.or.id Hanya Satu Jalan Menuju Allah∗ Syaikh Abdul Malik Bin Ahmad Ramdhani 28 Study Resources
SatuSatunya Jalan Untuk Keselamatan Adalah Mengikuti Jejak Sang Kekasih/Jalan Kita dari Allah menuju Allah! Kisah Kehidupan Para Wali Allah - Jika riwayat hidup kaum arifin dibacakan kepada orang beriman, maka imannya kepada Allah semakin kokoh. Saya hanya hamba biasa yang membuat deklarasi dari timur ke barat, dari utara ke selatan, jika
Salahsatu ayat favorit yang sering dikutip untuk membuktikan keilahian Yesus adalah Yohanes 14:6, Kata Yesus kepadanya, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui aku.". Bagaimana ayat ini dapat dipakai untuk membuktikan keilahian Yesus sebenarnya merupakan hal yang sangat aneh.
Artikelini akan membahas jalan menuju kebahagiaan bagi orang-orang beriman dalam Surah Al-An'am Ayat 153. bahwa hanya ada satu jalan yang akan mengantarkan kita pada kebahagiaan hakiki, yaitu jalan yang lurus (al-shirat al-mustaqim), yaitu jalan Allah (sabilullah). Sementara jalan-jalan lain hanya akan menyesatkan dan mecerai-beraikan
AlBaqarah: 257) Allah 'azza wajalla mengeluarkan mereka dari kegelapan yang bermacam-macam bentuknya kepada cahaya yang satu. Sesungguhnya Allah 'azza wajalla hanya menjadikan satu jalan bagi kebenaran, oleh sebab itu Allah 'azza wajalla juga hanya menjadikan shiratal mustaqim itu kecuali hanyalah satu saja. Sedangkan penyimpangan itu
2 và 3 4 giờ bằng bao nhiêu phút.
Nama eBook Hanya Satu Jalan Menuju Allah عزّوجلّ Penulis Syaikh Abdul Malik Bin Ahmad Ramdhani Pengantar Alhamdulillah, kemudian sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad صلي الله عليه وسلم, keluarga, sahabatnya dan yang mengikuti mereka hingga akhir zaman. Amma ba’du… Sejak dahulu dan sayapun pernah mendengarnya yang kira-kira biarlah ia dengan jalannya dan kita dengan jalan kita menuju Allah’, arti kalimat ini ialah jalan menuju Allah عزّوجلّ sangatlah banyak sesuai dengan keinginan manusia, dengan kalimat ini maka legal-lah semua cara-cara ibadah dan hal lainnya yang dihiasi dengan label Islam. Pertanyaannya benarkah demikian ?!, rupanya tidak, simaklah hadits dari Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه, ia berkata خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ “Rasulullah صلي الله عليه وسلم membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda,”Ini adalah jalan Allah,” kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda,”Ini adalah jalan-jalan yang banyak. Pada setiap jalan ada syetan yang mengajak kepada jalan itu,” kemudian beliau membaca إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ “Dan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya.” QS. Al An’am153 [Shahih, HR. Ahmad dan lainnya] Ini adalah dalil yang tegas yang menunjukkan jalan menuju Allah عزّوجلّhanyalah satu, tidak berbilang…maka bacalah eBook berikut dengan seksama semoga kita mendapat hidayah Allah… Download Hanya Satu Jalan Menuju عزّوجلّ DOC file atau PDF file Tulisan terkait 3 Landasan Utama 3 Landasan Utama Manhaj Salaf dan eBook lainnya dalam kategori Manhaj dan Aqidah
Ketahuilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa jalan yang menjamin nikmat Islam bagimu hanya satu, tidak bercabang. Allah telah menetapkan keberuntungan hanya untuk satu golongan saja. Allah berfirman. أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. [Al Mujadalah22]. Dan Dia Allah menetapkan kemenangan hanya untuk mereka pula. Allah berfirman. وَمَن يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ Dan barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti menang. [Al Maidah56]. Bagaimanapun, jika anda mencari dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka anda tidak akan menemukan di dalamnya dalil, Red. pengkotak-kotakan umat kepada jama’ah-jama’ah, partai-partai atau golongan-golongan, kecuali perbuatan itu dicela dan tercela. Allah berfirman. وَلاَتَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ . مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [Ar Rum31-32]. Bagaimana mungkin Allah mengakui dan melegitimasi perpecahan ummat, setelah Dia memelihara mereka dengan tali agamaNya? Lagi pula, Allah telah melepaskan tanggung jawab NabiNya -Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam – atas umatnya, manakala mereka berpecah-belah, dan dia mengancam mereka atas perpecahan tersebut. Allah berfirman. إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَىْءٍ إِنَّمَآأَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ ثُمَّ يُنَبِئُهُم بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. [Al An’am159]. Dari Muawiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu anhu berkata, ketahuilah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-tengah kami, lalu bersabda. أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ Ketahuilah, bahwasanya Ahlul Kitab sebelum kalian terpecah menjadi tujuhpuluh dua golongan. Dan bahwasanya, umat ini akan terpecah menjadi tujupuluh tiga golongan. Tujuhpuluh dua di neraka, dan hanya satu yang di surga, yaitu Al Jama’ah. [1] Mengomentari hadits ini, Amir Ash Shan’ani rahimahullah berkata,“Penyebutan bilangan pada hadits ini, bukan untuk menjelaskan banyaknya orang yang binasa. Akan tetapi, hanya untuk menerangkan luasnya jalan-jalan kesesatan dan cabang-cabang kesesatan, serta untuk menjelaskan bahwa jalan kebenaran itu hanya satu. Hal ini, sama dengan yang telah disebutkan oleh ulama ahli tafsir berkaitan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ Dan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. [Al An’am153]. Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan bentuk jamak pada kata yang menerangkan “jalan-jalan yang dilarang mengikutinya”, guna menerangkan cabang-cabang dan banyaknya jalan-jalan kesesatan serta keluasannya. Sedangkan pada kata “jalan petunjuk dan kebenaran“, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan bentuk tunggal. Ini dikarena jalan al haq itu hanya satu, dan tidak berbilang. [2] Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata. خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda,”Ini adalah jalan Allah,” kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda,”Ini adalah jalan-jalan yang banyak. Pada setiap jalan ada syetan yang mengajak kepada jalan itu,” kemudian beliau membaca. إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ Dan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. [Al An’am153]. [3]. Redaksi hadits ini menunjukkan, bahwa jalan kebenaran, pent. itu hanya satu. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Dan ini disebabkan, karena jalan yang mengantarkan seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah satu. Yaitu sesuatu yang dengannya, Allah mengutus para rasulNya dan menurunkan kitab-kitabNya. Tiada seorangpun yang dapat sampai kepadaNya, kecuali melalui jalan ini. Seandainya manusia datang dengan menempuh semua jalan, lalu mendatangi setiap pintu dan meminta agar dibukakan, niscaya seluruh jalan tertutup dan terkunci buat mereka; terkecuali melalui jalan yang satu ini. Karena jalan inilah, yang berhubungan dengan Allah dan bisa mengantarkan kepadaNya. [4] Aku penyusun mengatakan Akan tetapi, banyaknya liku-liku di jalan ini yang cukup memberatkan, menyebabkan seseorang menjadi ragu, lalu meninggalkannya. Dan sesungguhnya kelompok-kelompok yang menyimpang, telah menyelisihi jalan ini. Penyebabnya, karena merasa senang dan tenang pada jalan yang banyak, serta merasa berat untuk menyendiri. Ingin segera tiba tergesa-gesa, Red. dan takut memikul beban perjalanan yang panjang. Ibnul Qayyim berkata, “Barangsiapa menganggap jauh satu jalan ini, maka dia tidak akan mampu menempuhnya.” MENGENAL JALAN YANG SATU Menyimpulkan dari pendapat Ibnul Qayyim di atas, maka jelaslah jalan yang dimaksud. Dan jelas, bahwa jalan yang dimaksud disini, ialah “rukun yang kedua” dari rukun tauhid. Yaitu setelah syahadat persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, maka yang kedua, Red. persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan kalimat ini, juga menjadi syarat kedua diterimanya suatu amal ibadah. Karena -sebagaimana sudah diketahui- bahwa amal ibadah tidak akan diterima, kecuali setelah memenuhi dua syarat; Pertama, mengikhlaskan agama ketaatan karena Allah semata. Kedua, dalam beribadah hanya dengan mengikuti cara yang dicontohkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Pada kesempatan ini, saya tidak bermaksud menjadikan untuk kaidah yang mashur ini sebagai dalil dalam pembahasan ini. Sebab, tujuan utama bahasan ini untuk menjelaskan bahwa jalan yang pernah ditempuh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, itulah satu-satunya jalan yang bisa mengantarkan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla. Pengenalan terhadap jalan ini amat penting, pent; karena ketidak tahuan terhadap jalan ini, rintangan-rintangannya, serta tidak mengerti maksud dan tujuannya, hanya akan menghasilkan kepayahan yang sangat, tanpa bisa mendapatkan manfaat yang berarti. [5] Tujuan pembahasan ini, juga untuk menjelaskan, bahwa jalan itu hanya satu. Sehingga tidak boleh berdusta mengatas-namakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan menda’wahkan, bahwa jalan menuju Allah Azza wa Jalla itu jumlahnya banyak, pent., sejumlah bilangan nafas manusia. Atau ungkapan-ungkapan lain, yang menurut agama Allah Azza wa Jalla–yang datang guna menyatukan pemeluknya dan bukan untuk memecah-belah mereka- jelas nyata kebathilannya. Allah berfirman. وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu masa Jahiliyah bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara [Ali Imran103] Tali yang menjamin kaum muslimin adalah kitab Allah Azza wa Jalla, sebagaimana penafsiran para ulama kaum muslimin. Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata. إِنَّ هَذَا الصِّرَاطَ مُحْتَضَرٌ تَحْضُرُهُ الشَّيَاطِينُ يُنَادُونَ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَلُمَّ هَذَا الصِّرَاطُ لِيَصُدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللهِ فَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ فَإِنَّ حَبْلَ اللَّهِ الْقُرْآنُ Sesungguhnya, jalan ini dihadiri para syetan. Mereka berseru,”Wahai hamba-hamba Allah, kemarilah. Ini adalah jalan yang benar.” Mereka melakukan ini, pent. untuk menghalang-halangi manusia dari jalan Allah Azza wa Jalla. Maka, berpegang taguhlah kalian dengan hablullah. Sesungguhnya, hablullah itu adalah Kitabullah Al Qur’an. [6]. Ungkapan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ini, mengandung dua makna yang sangat penting. Pertama Jalan menuju Allah itu hanya satu. Hanya saja, jalan itu dikelilingi oleh syetan yang ingin memisahkan manusia dari jalan ini. Sementara itu, syetan tidak menemukan jalan terbaik untuk mencerai-beraikan mereka dari jalan ini, kecuali dengan menda’wakan, bahwa jalan-jalan itu banyak. Maka, barangsiapa yang hendak memasukkan suatu anggapan kepada manusia, bahwa kebenaran al haq itu tidak hanya terbatas pada satu jalan saja, berarti dia adalah syetan. Dan sungguh Allah berfirman. فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. [Yunus32]. Kedua Tafsir hablullah tali Allah Azza wa Jalla yang wajib dipegang teguh oleh kaum muslimin agar tetap bersatu, ialah kitab Allah, Al Qur’a Al Karim. Tafsir ini tidak bertentangan dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu yang berbunyi. الصِّرَاطُ الْمُستَقـِيْمُ الَّذِي تَرَكَنَا عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ Jalan yang lurus, yaitu jalan yang kami lalui ketika kami ditinggal oleh Rasulullah. [7] Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah mewariskan dua pusaka untuk mereka, yaitu Al Qur’an dan Sunnah, sebagaimana sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam. تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَبَدًاكِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِيْ Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu. Jika kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku.. [8] Ditinjau dari ekstensinya, Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam itu sama dengan kitab Allah sebagai wahyu, dan Sunnah itu sebagai penjelas bagi Kitab Allah Azza wa Jalla. Bahkan, makhluk terbaik yang menafsirkan Al Qur’an adalah Rasulullah, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla. وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. [An Nahl44]. Aisyah Radhiyallahu anha berkata. كَانَ خُلُقُهُ القُرْآنَ Akhlaq beliau adalah Al Qur’an. [9] Oleh karena itu pula, jika timbul perpecahan dan perselisihan diantara mereka, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan umatnya agar berpegang teguh dengan sunnahnya Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersada. فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ Dan sesungguhnya, barangsiapa diantara kalian yang hidup setelahku, dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang diberi hidayah yang mereka di atas petunjuk. Berpegang teguhlah padanya, dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian peganglah sekuat-kuatnya, Red., serta jauhilah perkara-perkara yang baru dalam agama; karena sesungguhnya, setiap perkara yang baru yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah. [10] Ketika menjelaskan sebab bersatunya salaf pada aqidah yang sama, Imam Ibnu Bathuthah rahimahullah mengatakan,“Generasi pertama, semuanya masih tetap pada aqidah ini. Hati dan mazdhab mereka menyatu. Kitab Allah sebagai jaminan yang memelihara keutuhan mereka. Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai pedoman. Mereka tidak menuruti pendapat atau rasio mereka, dan tidak menyandarkan pemahamannya kepada hawa nafsu. Kondisi umat pada saat itu terus demikian. Hati-hati mereka terpelihara oleh penjagaan Allah Azza wa Jalla, dan berkat InayahNya jiwa-jiwa mereka terkendali dari hawa nafsu. [Lihat kitab Al Ibanah atau Al Qadar, I]. Apa yang dikatakan Ibnu Baththah rahimahullah itu benar ; karena agama Allah itu hanya satu dan tidak ada pertentangan. Allah berfirman. وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا Kalau sekiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An Nisa’82]. Adapun yang kami dakwahkan ini adalah jalan yang paling jelas, paling terang, paling kaya dengan dalil dan paling sempurna. Dari Al Irbadh bin Sariyah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda. لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ Sesungguhnya, aku telah meninggalkan kalian di atas jalan, seperti jalan yang sangat putih, malamnya sama dengan siangnya. Tiada yang menyimpang sesudahku dari jalan itu, kecuali orang itu akan binasa. [11] Sehingga, jika ada seseorang yang berupaya untuk “menyempurnakan atau menghiasinya” dengan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah n dan tidak pula oleh para sahabat g , berarti perbuatan itu hanyalah sebuah upaya untuk menyimpangkan mereka kepada jalan-jalan kesesatan, bahkan menyimpangkan ke lembah-lembah kebinasaan. Inilah yang dinamakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. البِدْعَةُ الضَّلاَلَةُ Bid’ah adalah kesesatan Oleh karena itu, para salafush shalih sangat mengingkari orang-orang yang menambah-nambah dalam masalah agama, atau mengotori agama ini dengan pendapat rasionya. Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu menuturkan. إِيَّاكُمْ وَ مُجَالَسَةَ أَصْحَابِ الرَّأْيِ فَإِنَّهُمْ أَعْدَاءُ السُّنَّةِ أُعِيَتْهُمُ السُّنَّةُ أَنْ يَحْفَظُوْهَا وَنَسَوْا وفي رواية وَتَفَلَّتَتْ عَلَيْهِمُ الأَحَادِيْثُ أَنْ يَعُوْدَهَا وَسُئِلُوْا عَمَّا لاَ يَعْلَمُوْنَ فَاسْتَحْيَوْا أَنْ يَقُوْلُوْا لاَ نَعْلَمُ فَأَفْتَوْا بِرَأْيِهِمْ فَضَلُّوْا فَأَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَ ضَلُّوْا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ . إِنَّ نَبِيَّكُمْ لَمْ يَقْبِضْهُ اللهُ حَتَّى أَغْنَاهُ بِالْوَحْيِ عَنِ الرَّأْيِ وَلَوْكَانَ الرَّأْيُ أَوْلَى مِنَ السُّنَّةِ لَكَانَ بَاطِنُ الْخُفَّيْنِ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ ظَاهِرِهِمَا Janganlah kalian duduk dengan orang-orang yang berpegang dengan rasio mereka; karena sesungguhnya, mereka itu musuh Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Mereka tidak mampu memelihara Sunnah. Mereka lupa dalam sebuah riwayat, mereka diserang hadits-hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, sehingga mereka tidak mampu memahaminya. Mereka ditanya tentang masalah yang tidak mereka ketahui, akan tetapi mereka malu untuk mengatakan,“Kami tidak mengetahui,” lalu mereka berfatwa dengan rasionya, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan orang banyak. Mereka tersesat dari jalan yang lurus. Sesungguhnya Nabi kalian tidaklah diwafatkan Allah, kecuali setelah Allah mencukupkannya dengan wahyu dari rasio. Dan seandainya rasio itu lebih utama daripada Sunnah, niscaya mengusap bagian bawah kedua sepatu khuf, itu lebih utama daripada mengusap bagian atasnya. [12] Yang demikian itu, karena agama ini dibangun diatas dasar ittiba’ mengikuti wahyu, bukan dengan ikhtira’ mengada-ada. Sedangkan rasio, biasanya tercela; karena banyak urusan agama yang tidak bisa dijangkau oleh akal semata. Apalagi akal manusia memiliki perbedaan dalam menjangkau pemahaman dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; meskipun terkadang pendapat itu patut mendapatkan pujian. [13] Abdullah bin Mas’ud berkata. اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ عَلَيْكُمْ بِالْعَتِيْقِ Ikutilah dan jangan mengada-ada, karena sesungguhnya ajaran syari’at Islam ini telah mencukupi kalian, hendaklah kalian berpegang dengan tuntunan agama yang sediakala. [14] Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhu berkata. كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً Semua bid’ah itu adalah sesat, meskipun manusia memandangnya baik. [15] Dan selama pembahasan kami tentang “pengaruh perbuatan bid’ah” yang menghalangi seseorang dalam mencari jalan yang lurus, maka saya akan menyebutkan sebuah ucapan Abdullah bin Abbas perihal masalah ini, yang menunjukkan luasnya ilmu para sahabat. Dari Utsman bin Hadhir, ia berkata Aku datang menjumpai Abdullah bin Abbas. Lalu aku berkata kepadanya, أوصيني berilah wasiat kepadaku; diapun berkata. نَعَمْ عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَ الإِسْتِِقَامَةِ وَ الأَثَرِ وَ لاَ تَبْتَدِعْ “Ya , bertaqwalah engkau kepada Allah, istiqamahlah dan berpeganglah pada atsar jejak para salaf, pent. Ikutilah, dan jangan mengada-ada dalam urusan agama. [16] Cobalah anda perhatikan ucapan ini. Dia memadukan dua hal. Pertama, taqwa kepada Allah, yang maknanya sama dengan keikhlasan. Sebab ia dipadukan dengan perintah untuk berittiba’ perintah untuk mengikuti tuntunan Nabi, pent.. Kedua, al ittiba’, yang maknanya mengikuti jalan yang lurus, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Selanjutnya, beliau mengingatkan agar waspada terhadap yang bertolak belakang dengan kedua hal di atas, yaitu bid’ah. Demikianlah mayoritas ucapan para salaf, meskipun singkat, namun selalu mencakup dan membentengi seseorang. Merupakan perangai Salafush Shalih, mereka selalu bersikap tegas dan keras terhadap orang yang mencari-cari ucapan manusia para tokoh untuk menandingi hukum Rasulullah, setinggi apapun kedudukan dan martabat tokoh-tokoh tersebut. Tidak diragukan, bahwasanya beradab dan memelihara kesopanan terhadap para ulama’, mencintai dan mendahulukan mereka atas lainnya, serta tudingan seseorang terhadap rasionya jika disejajarkan dengan pendapat-pendapat para ulama; semua itu perkara yang amat penting. Namun demikian, hal tersebut merupakan persoalan lain. Sedangkan mendahulukan wahyu Al Qur’an dan As Sunnah setelah jelas permasalahannya, juga merupakan perkara lain. Urwah berkata kepada Ibnu Abbas,“Celaka engkau. Engkau telah menyesatkan manusia, karena memerintahkan untuk melakukan ibadah umrah pada sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah, padahal tiada umrah pada hari-hari itu.” Maka Ibnu Abbas berkata,“Wahai Uray [17]. Tanyakanlah kepada ibumu.” Urwah berkata, “Bahwasanya Abu Bakar dan Umar tidak pernah berkata berpendapat seperti itu, padahal mereka benar-benar lebih mengetahui dan lebih mengikuti Rasulullah daripada engkau.” Maka dijawab oleh Ibnu Abbas. مِنْ هَهُنَا تُؤْتَوْنَ نَجِيْئُكُمْ بِرَسُوْلِ اللهِ وَتَجِيْئُوْنَ بِأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ Dari sinilah kalian didatangi. Kami membawakan kepadamu perkataan Rasulullah, dan kamu membawakan perkataan Abu Bakar dan Umar. Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas berkata kepadanya. أَهُمَا –وَيْحَكَ- آثَرٌ عِنْدَكَ أَمْ مَا فِي كِِتَابِ اللهِ وَمَاسَنَّ رَسُوْلُ اللهِ فِي أَصْحَابِهِ وَأُمَّتِهِ Celaka engkau. Apakah mereka berdua Abu Bakar dan Umar, pent, lebih engkau dahulukan ataukah yang tertulis dalam Kitab Allah dan disunahkan oleh Rasulullah bagi sahabat dan umatnya? Dalam riwayat lain, ia bertutur. أُرَاهُمْ سَيُهْلَكُوْنَ أَقُوْلُ قَالَ النَّبِي وَيَقُوْلُ نَهَى أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ Kelihatannya mereka akan dibinasakan, aku katakan “Nabi berkata” sedang mereka berkata “Abu Bakar dan Umar telah melarangnya”. [18] Setelah membawakan ucapan Ibnu Abbas di atas, Syaikh Abdurrahman bin Hasan mengatakan,“Dalam ucapan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu terdapat isyarat yang menunjukkan, bahwa seseorang yang telah sampai padanya dalil, lalu tidak mengambilnya tidak mengamalkannya karena bertaklid kepada imamnya, maka orang itu wajib diingkari dengan keras karena sikapnya yang menyelisihi dalil.” [19] Beliau juga mengatakan,”Kemungkaran ini, [20] telah merebak luas terutama dari mereka yang menisbatkan diri kepada ilmu. Mereka telah menancapkan jerat-jerat dalam menghalangi manusia dari mengambil Al Qur’an dan As Sunnah; menghalangi mereka dari mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan menjunjung tinggi perintah serta larangannya.” Diantara ucapan mereka, “tidak boleh berdalil dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah, kecuali seorang mujtahid, sedangkan ijtihad telah terputus.” Ada juga yang mengatakan, “orang yang aku taklidi ikuti padanya, lebih mengetahui daripada kamu tentang hadits, nasikh dan mansukhnya” serta ucapan-ucapan serupa dengan tujuan akhirnya untuk meninggalkan ittiba’ mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, yang beliau tidak pernah berbicara karena terdorong hawa nafsu, lalu mereka bersandar kepada ucapan orang-orang yang bisa saja berbuat kesalahan. Ada juga diantara imam yang menyelisihi dan mencegah dari perkataan Rasulullah n dengan berdalih “tiada seorang ulama pun, kecuali yang dimilikinya hanyalah sebagian ilmu, dan tidak semua dikuasainya”. Maka wajib bagi setiap mukallaf orang yang telah terkena beban syari’at, jika telah sampai kepadanya dalil Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah dan telah dipahaminya, untuk berhenti padanya dan mengamalkannya, meskipun ada yang menyelisihinya, sebagaimana firman Allah. اتَّبِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ قَلِيلاً مَاتَذَكَّرُونَ Ikutilah apa yang diturunkan kepada kamu sekalian dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran daripadanya. [Al A’raf3] FirmanNya أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّآأَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ Dan apakah tidak cukup bagi mereka, bahwasannya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab Al Qur’an sedang dia dibacakan kepada mereka. Sesungguhnya di dalam Al Qur’an itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. [Al Ankabut51]. Dan di depan telah disampaikan perihal ijma’ kesepakatan para ulama’ terhadap yang kami sampaikan ini, serta keterangan, bahwa muqallid orang yang taklid tidak termasuk orang-orang yang berilmu. Demikian pula Abu Umar bin Abdil Barr dan ulama’ lainnya, telah menceritakan ijma’ atas masalah ini. [21]. Pengagungan kaum salaf terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, telah sampai pada tingkatan menghunuskan pedang kepada orang yang menolak hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana dilakukan oleh Imam Syafi’i. Beliau rahimahullah telah mengadu kepada Al Qadhi pemimpin mahkamah syari’at Abul Bakhturi perihal Bisyir Al Marisi. [22] Beliau berkata,”Aku berdialog dengan Al Marisi tentang mengundi, [23]. Dia berkata, “Wahai Abu Abdillah, Al Qur’an mengundi itu judi,” maka kudatangi Abul Bakhturi, lalu kukatakan kepadanya,”Aku mendengar Al Marisi berkata, mengundi itu judi,” Abul Bakhturi menjawab,”Wahai Abu Abdillah, ajukan seorang saksi lagi. Aku akan membunuhnya.” Dalam riwayat lain ida berkata,”Ajukan seorang saksi lagi, niscaya akan kuangkatnya pada sebatang kayu, lalu kusalibnya.” [24] Diterjemahkan Oleh Ustadz Mubarak Bamualim, dari Sittu Durar Min Ushuli Ahlil Atsar, karya Syaikh Abdul Malik Bin Ahmad Ramdhani [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296] Artikel Sumber _______ Footnote [1]. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/102; Abu Dawud no. 4597; Darimi 2/241; Thabrani 19/367, 88-885; Hakim 1/128; dan yang lainnya. Hadits ini shahih. Juga dikeluarkan oleh Ahmad 2/332; Abu Dawud no. 4596; Tirmidzi no. 2642; Ibnu Majah no. 3990; Abu Ya’la no. 5910, 5978, 6117; Ibnu Hibban 14/6247 dan 15/6731; Hakim 1/6, 128, dan lainnya dari hadits Abu Hurairah, dan Hakim mempunyai beberapa riwayat lain dalam jumlah banyak dari hadits Anas bin Malik, Abdullah bin Amr bin Al Ash, dan yang selainnya c . Hadits ini dishahihkan oleh Tirmidzi; Hakim; Adz Dzahabi, dan Al Jazajani dalam kitab Al Abathil 1/302; Al Baghawi dalam Syarh Sunnah 1/213; Asy Syathibi dalam Al I’tisham 2/698, tahqiq Salim Al Hilali; Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 3/345; Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 4/48; Ibnu Katsir dalam tafsirnya 1/390; Ibnu Hajr dalam Tarikh Al Kasysyaf, halaman 63; Al Iraqi dalam Al Mughni An Hamlil Asfar, no. 3240; Al Bushairi dalam Mishbahuz Zujajah, halaman 4/180; Al Albani dalam Silsilah Shahihah, no. 203, dan yang lainnya. Sangat banyak. Sengaja saya sebutkan ini semua, untuk membuat ahli bid’ah yang berupaya melemahkan hadits yang agung ini, menjadi sia-sia –aku ingin menjadikan mereka bisu. Al Hakim rahimahullah berkata tentang hadits ini,”Hadits yang agung atau banyak, sebagaimana sebagian ulama telah menempatkannya dalam hadits-hadits yang pokok. [2]. Lihat hadits Iftiraqul Ummah Ila Nayyif Sab’ina Firqah, halaman 67-68. [3]. Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad I/435, dan yang lainnya [4]. At Tafsir Al Qayyim, halaman 14-15 [5]. Lihat Al Fawa’id, karya Ibnu Qayyim, halaman 223 [6]. Diriwayatkan Abu Ubaid dalam Fadhailul Qur’an, halaman 75; Ad Darimi 2/433; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no 22; Ibnu Dhurais dalam Fadhailul Qur’an, 74; Ibnu Jarir dalam tafsirnya no. 7566 tahqiq Ahmad Asakir; Ath Thabari 9/9031; Al Ajuri dalam Asy Syari’ah, 16; dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah, no. 135; dan riwayat ini shahih. [7]. Atsar shahih, dikeluarkan Ath Thabari, 10 no. 10454; Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab 4/88-89; Ibnu Wadhdhah dalam Al Bida’, no. 76. [8]. 8[Diriwayatkan Imam Malik dalam Al Muwaththa’ 2/899; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no. 68; Al Hakim 1/93; dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam komentar beliau tentang kitab Misykatul Mashabih, no. 186. [9]. Riwayat Ahmad 6/91, 163; dan Muslim 746. [10]. Hadits shahih diriwayatkan Abu Daud, no. 4607; At Tirmidzi, no. 2676; dan yang lainnya [11]. Riwayat Ahmad 4/126; Ibnu Majah, no. 5 dan 43; Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya As Sunnah, no. 48-49; Al Hakim 1/96; dan dishahihkan oleh Al Albani dalam kitab Fi Dhalalil Jannah Fi Takhrij Sunnah. [12]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Zuamanain dalam Ushulus Sunnah, no 8; Al Lalika’i dalam Syarh Ushulul I’tiqad, no. 201; Al Khatib Al Bagdadi dalam Faqih wal Mutafaqqih, no. 476-480; Ibnu Abdil Baar dalam Jami’ Bayanul Ilmi Wa Fadluhu, no. 2001, 2003, 2005; Ibnu Hazm dalam Al Ihkam, 4/42-43; Al Baihaqi dalam Al Madkhal, 312; Qiwamus Sunnah dalam Al Hujjah, 1/205, pada sebagian sanadnya ada yang lemah dan ada pula yang putus. Namun demikian, sebagian sanad dapat menguatkan sebagian yang lain. Oleh karena itu, Ibnu Qayyim mengatakan,“Sanad-sanad ucapan Ibnu Umar ini sangat shahih.” Lihat I’lamul Muwaqi’ien, 1/44 [13]. Lihat perinciannya dalam I’lamul Muwaqi’ien, 1/63 karya Ibnu Qayyim [14]. Diriwayatkan oleh Waki’ dalam Az Zuhd, no. 315; Abdur Razaq, no. 20465; Abu Khaitsamah dalam Al Ilmu, no. 45; Ahmad dalam Az Zuhd, halaman 62; Ad Darimi 1/69; Ibnu Wadhdhah dalam Al Bida’, no. 60; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no. 78 dan 85; Thabrani 9/8770 dan 8845; Ibnu Baththah dalam Al Ibanah/Al Iman 168-169, 174-175 dan Al Madkhal, no. 387-388; Al Khatib dalam Al Faqih Wal Mutafaqih, 1/43; dan dishahihkan oleh Al Albani dalam ta’liqnya atas kitab Al Ilmu, karya Abu Khaitsamah [15]. Ibnu Nashr dalam As Sunnah, 82; Al Lalika’i dalam Syarh Ushulul I’tiqad, no. 126; Al Baihaqi dalam Al Madkhal, no. 191, dan sanadnya shahih. [16]. Diriwayatkan Ad Darimi, I/53; Ibnu Wadhdah dal Al Bida’, no. 61; Ibnu Nashr, no. 83; Ibnu Baththah dalam Al Ibanah, no. 200 dan 206; Al Khatib dalam Al Faqih Wal Mutafaqqih, I/173, dari dua jalan yang saling menguatkan. [17]. Nama tasghir kecil Urwah bin Zubair. Wallahu a’lam, pent. [18]. Diriwayatkan Ishaq bin Rahawi Rahwiyah, sebagaimana dalam kitab Al Muthallibul Aliyah, no. 1306; Ibnu Abi Syaibah, 4/103, dan dari jalurnya dikeluarkan oleh Thabrani; Al Khatib dalam Al Faqih Wal Mutafaqqi, 379 – 380 , Ibnu Abdil Baar dalam Jami’ihi, no. 2378 dan 2381; dan dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Al Muthalib; dan dihasankan oleh Al Haitsami dalam Al Mujma’, 3/234; juga oleh Ibnu Muflih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah,2/66 [19]. Lihat pada Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, halaman 338. [20]. Yang beliau maksud dengan “kemungkaran”, yaitu mengesampingkan dalil hanya dikarenakan taqlid kepada imam madzabnya, Pent. [21]. Lihat Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, halaman 339- 340. [22]. Bisyir bin Ghiyats Al Marisi, seorang ahli kalam yang keluar dari ketaqwaan dan sikap wara’. Dia berakidah Jahmiyah golongan yang mengingkari dan menafi’kan sifat-sifat Allah. Dia menyatakan, bahwa Al Qur’an adalah makhluk ciptaan Allah. Oleh sebab itu, dikafirkan oleh sejumlah ulama’, seperti Qutaibah bin Sa’id dan yang lainnya, meninggal tahun 218 H. Lihat Siyar A’lamin Nubala’, 10 / 199, Pent [23]. Hal ini mengacu kepada hadits Imran bin Husain. أَنَّ رَجُلًا أَعْتَقَ سِتَّةَ مَمْلُوكِينَ لَهُ عِنْدَ مَوْتِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ غَيْرَهُمْ فَدَعَا بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَزَّأَهُمْ أَثْلَاثًا ثُمَّ أَقْرَعَ بَيْنَهُمْ فَأَعْتَقَ اثْنَيْنِ وَأَرَقَّ أَرْبَعَةً وَقَالَ لَهُ قَوْلًا شَدِيدًا Bahwasanya seorang lelaki membebaskan enam budaknya ketika ia dihampiri kematian, ia tidak memiliki harta selain mereka, maka Rasulullah memanggil mereka dan membagi menjadi tiga bagian, lalu beliau mengundi diantara mereka, kemudian beliau memerdekakan dua orang dan yang empat tetap sebagai budak dan beliau mengeluarkan kata-kata yang keras terhadap orang. [HR Muslim, 1668]. [24]. Diriwayatkan Al Khalal dalam As Sunnah, 1735; Al Khatib dalam Tarikh Al Baghdad, 7/60, dan sanadnya shahih. Orang yang mengambil suatu perkara atau mengerjakan suatu amalan tanpa mengetahui sumber dalilnya. This entry was posted on March 7, 2011 at 926 am and is filed under Aqidah. You can follow any responses to this entry through the RSS feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-bahwa jalan yang menjamin nikmat Islam bagimu hanya satu, tidak bercabang. Allah telah menetapkan keberuntungan hanya untuk satu golongan saja. Allah berrman, Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesunguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. QS Al Mujadalah 22. Dan Dia Allah menetapkan kemenangan hanya untuk mereka pula. Allah berrman, Dan barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti menang. QS Al Maidah 56.
OlehSyaikh Abdul Malik Bin Ahmad RamdhaniKetahuilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa jalan yang menjamin nikmat Islam bagimu hanya satu, tidak bercabang. Allah telah menetapkan keberuntungan hanya untuk satu golongan saja. Allah berfirman,أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَMereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. [Al Mujadalah22].Dan Dia Allah menetapkan kemenangan hanya untuk mereka pula. Allah berfirman,وَمَن يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَDan barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti menang. [Al Maidah56].Bagaimanapun, jika anda mencari dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka anda tidak akan menemukan di dalamnya dalil, red. pengkotak-kotakan umat kepada jama’ah-jama’ah, partai-partai atau golongan-golongan, kecuali perbuatan itu dicela dan tercela. Allah berfirman,وَلاَتَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ . مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَDan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [Ar Rum31-32].Bagaimana mungkin Allah mengakui dan melegitimasi perpecahan ummat, setelah Dia memelihara mereka dengan tali agamaNya? Lagi pula, Allah telah melepaskan tanggung jawab NabiNya -Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam - atas umatnya, manakala mereka berpecah-belah, dan dia mengancam mereka atas perpecahan tersebut. Allah berfirman,إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَىْءٍ إِنَّمَآأَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ ثُمَّ يُنَبِئُهُم بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَSesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. [Al An’am159].Dari Muawiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu anhu berkata, ketahuilah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-tengah kami, lalu bersabda,أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ Ketahuilah, bahwasanya Ahlul Kitab sebelum kalian terpecah menjadi tujuhpuluh dua golongan. Dan bahwasanya, umat ini akan terpecah menjadi tujupuluh tiga golongan. Tujuhpuluh dua di neraka, dan hanya satu yang di surga, yaitu Al Jama’ah.[1]Mengomentari hadits ini, Amir Ash Shan’ani rahimahullah berkata,“Penyebutan bilangan pada hadits ini, bukan untuk menjelaskan banyaknya orang yang binasa. Akan tetapi, hanya untuk menerangkan luasnya jalan-jalan kesesatan dan cabang-cabang kesesatan, serta untuk menjelaskan bahwa jalan kebenaran itu hanya satu. Hal ini, sama dengan yang telah disebutkan oleh ulama ahli tafsir berkaitan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِDan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. [Al An’am153].Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan bentuk jamak pada kata yang menerangkan “jalan-jalan yang dilarang mengikutinya”, guna menerangkan cabang-cabang dan banyaknya jalan-jalan kesesatan serta keluasannya. Sedangkan pada kata “jalan petunjuk dan kebenaran“, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan bentuk tunggal. Ini dikarena jalan al haq itu hanya satu, dan tidak berbilang.[2] Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata,خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِRasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda,”Ini adalah jalan Allah,” kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda,”Ini adalah jalan-jalan yang banyak. Pada setiap jalan ada syetan yang mengajak kepada jalan itu,” kemudian beliau membaca,إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِDan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. [Al An’am153]. [3] Redaksi hadits ini menunjukkan, bahwa jalan kebenaran, pent. itu hanya satu. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Dan ini disebabkan, karena jalan yang mengantarkan seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala hanyalah satu. Yaitu sesuatu yang dengannya, Allah mengutus para rasulNya dan menurunkan kitab-kitabNya. Tiada seorangpun yang dapat sampai kepadaNya, kecuali melalui jalan ini. Seandainya manusia datang dengan menempuh semua jalan, lalu mendatangi setiap pintu dan meminta agar dibukakan, niscaya seluruh jalan tertutup dan terkunci buat mereka; terkecuali melalui jalan yang satu ini. Karena jalan inilah, yang berhubungan dengan Allah dan bisa mengantarkan kepadaNya. [4]Aku penyusun mengatakan Akan tetapi, banyaknya liku-liku di jalan ini yang cukup memberatkan, menyebabkan seseorang menjadi ragu, lalu meninggalkannya. Dan sesungguhnya kelompok-kelompok yang menyimpang, telah menyelisihi jalan ini. Penyebabnya, karena merasa senang dan tenang pada jalan yang banyak, serta merasa berat untuk menyendiri. Ingin segera tiba tergesa-gesa, Red. dan takut memikul beban perjalanan yang panjang. Ibnul Qayyim berkata, “Barangsiapa menganggap jauh satu jalan ini, maka dia tidak akan mampu menempuhnya.”MENGENAL JALAN YANG SATU Menyimpulkan dari pendapat Ibnul Qayyim di atas, maka jelaslah jalan yang dimaksud. Dan jelas, bahwa jalan yang dimaksud disini, ialah “rukun yang kedua” dari rukun tauhid. Yaitu setelah syahadat persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, maka yang kedua, Red. persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan kalimat ini, juga menjadi syarat kedua diterimanya suatu amal ibadah. Karena -sebagaimana sudah diketahui- bahwa amal ibadah tidak akan diterima, kecuali setelah memenuhi dua syarat; Pertama, mengikhlaskan agama ketaatan karena Allah semata. Kedua, dalam beribadah hanya dengan mengikuti cara yang dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa kesempatan ini, saya tidak bermaksud menjadikan untuk kaidah yang mashur ini sebagai dalil dalam pembahasan ini. Sebab, tujuan utama bahasan ini untuk menjelaskan bahwa jalan yang pernah ditempuh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, itulah satu-satunya jalan yang bisa mengantarkan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla.Pengenalan terhadap jalan ini amat penting, pent; karena ketidak tahuan terhadap jalan ini, rintangan-rintangannya, serta tidak mengerti maksud dan tujuannya, hanya akan menghasilkan kepayahan yang sangat, tanpa bisa mendapatkan manfaat yang berarti.[5]Tujuan pembahasan ini, juga untuk menjelaskan, bahwa jalan itu hanya satu. Sehingga tidak boleh berdusta mengatas-namakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menda’wahkan, bahwa jalan menuju Allah Azza wa Jalla itu jumlahnya banyak, pent., sejumlah bilangan nafas manusia. Atau ungkapan-ungkapan lain, yang menurut agama Allah Azza wa Jalla –yang datang guna menyatukan pemeluknya dan bukan untuk memecah-belah mereka- jelas nyata kebathilannya. Allah berfirman,وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًاDan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu masa Jahiliyah bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara [Ali Imran103].Tali yang menjamin kaum muslimin adalah kitab Allah Azza wa Jalla, sebagaimana penafsiran para ulama kaum muslimin. Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata,إِنَّ هَذَا الصِّرَاطَ مُحْتَضَرٌ تَحْضُرُهُ الشَّيَاطِينُ يُنَادُونَ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَلُمَّ هَذَا الصِّرَاطُ لِيَصُدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللهِ فَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ فَإِنَّ حَبْلَ اللَّهِ الْقُرْآنُSesungguhnya, jalan ini dihadiri para syetan. Mereka berseru,”Wahai hamba-hamba Allah, kemarilah. Ini adalah jalan yang benar.” Mereka melakukan ini, pent. untuk menghalang-halangi manusia dari jalan Allah Azza wa Jalla . Maka, berpegang taguhlah kalian dengan hablullah. Sesungguhnya, hablullah itu adalah Kitabullah Al Qur’an. [6] Ungkapan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu ini, mengandung dua makna yang sangat penting. Pertama Jalan menuju Allah itu hanya satu. Hanya saja, jalan itu dikelilingi oleh syetan yang ingin memisahkan manusia dari jalan ini. Sementara itu, syetan tidak menemukan jalan terbaik untuk mencerai-beraikan mereka dari jalan ini, kecuali dengan menda’wakan, bahwa jalan-jalan itu banyak. Maka, barangsiapa yang hendak memasukkan suatu anggapan kepada manusia, bahwa kebenaran al haq itu tidak hanya terbatas pada satu jalan saja, berarti dia adalah syetan. Dan sungguh Allah berfirman,فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُMaka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. [Yunus32].Kedua Tafsir hablullah tali Allah Azza wa Jalla yang wajib dipegang teguh oleh kaum muslimin agar tetap bersatu, ialah kitab Allah, Al Qur’a Al Karim. Tafsir ini tidak bertentangan dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu yang berbunyi,الصِّرَاطُ الْمُستَقـِيْمُ الَّذِي تَرَكَنَا عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ Jalan yang lurus, yaitu jalan yang kami lalui ketika kami dtinggal oleh Rasulullah. [7] Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewariskan dua pusaka untuk mereka, yaitu Al Qur’an dan Sunnah, sebagaimana sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam,تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَبَدًاكِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِيْAku tinggalkan untuk kalian sesuatu. Jika kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku.[8] Ditinjau dari ekstensinya, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu sama dengan kitab Allah sebagai wahyu, dan Sunnah itu sebagai penjelas bagi Kitab Allah Azza wa Jalla. Bahkan, makhluk terbaik yang menafsirkan Al Qur’an adalah Rasulullah, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla,وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْDan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. [An Nahl44].Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata,كَانَ خُلُقُهُ القُرْآنَAkhlaq beliau adalah Al Qur’an. [9] Oleh karena itu pula, jika timbul perpecahan dan perselisihan diantara mereka, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan umatnya agar berpegang teguh dengan sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersada,فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ Dan sesungguhnya, barangsiapa diantara kalian yang hidup setelahku, dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang diberi hidayah yang mereka di atas petunjuk. Berpegang teguhlah padanya, dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian peganglah sekuat-kuatnya, Red., serta jauhilah perkara-perkara yang baru dalam agama; karena sesungguhnya, setiap perkara yang baru yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah. [10]. Ketika menjelaskan sebab bersatunya salaf pada aqidah yang sama, Imam Ibnu Bathuthah rahimahullah mengatakan,“Generasi pertama, semuanya masih tetap pada aqidah ini. Hati dan mazdhab mereka menyatu. Kitab Allah sebagai jaminan yang memelihara keutuhan mereka. Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pedoman. Mereka tidak menuruti pendapat atau rasio mereka, dan tidak menyandarkan pemahamannya kepada hawa nafsu. Kondisi umat pada saat itu terus demikian. Hati-hati mereka terpelihara oleh penjagaan Allah Azza wa Jalla, dan berkat InayahNya jiwa-jiwa mereka terkendali dari hawa nafsu. [Lihat kitab Al Ibanah atau Al Qadar, I].Apa yang dikatakan Ibnu Baththah rahimahullah itu benar; karena agama Allah itu hanya satu dan tidak ada pertentangan. Allah berfirman,وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًاKalau sekiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. [An Nisa’82].Adapun yang kami dakwahkan ini adalah jalan yang paling jelas, paling terang, paling kaya dengan dalil dan paling sempurna. Dari Al Irbadh bin Sariyah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ Sesungguhnya, aku telah meninggalkan kalian di atas jalan, seperti jalan yang sangat putih, malamnya sama dengan siangnya. Tiada yang menyimpang sesudahku dari jalan itu, kecuali orang itu akan binasa. [11] Sehingga, jika ada seseorang yang berupaya untuk “menyempurnakan atau menghiasinya” dengan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pula oleh para sahabat Radhiyallahu anhum, berarti perbuatan itu hanyalah sebuah upaya untuk menyimpangkan mereka kepada jalan-jalan kesesatan, bahkan menyimpangkan ke lembah-lembah kebinasaan. Inilah yang dinamakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,البِدْعَةُ الضَّلاَلَةُBid’ah adalah kesesatanOleh karena itu, para salafush shalih sangat mengingkari orang-orang yang menambah-nambah dalam masalah agama, atau mengotori agama ini dengan pendapat rasionya. Umar bin Khathab Radhiyallahu anhu menuturkan,إِيَّاكُمْ وَ مُجَالَسَةَ أَصْحَابِ الرَّأْيِ فَإِنَّهُمْ أَعْدَاءُ السُّنَّةِ أُعِيَتْهُمُ السُّنَّةُ أَنْ يَحْفَظُوْهَا وَنَسَوْا وفي رواية وَتَفَلَّتَتْ عَلَيْهِمُ الأَحَادِيْثُ أَنْ يَعُوْدَهَا وَسُئِلُوْا عَمَّا لاَ يَعْلَمُوْنَ فَاسْتَحْيَوْا أَنْ يَقُوْلُوْا لاَ نَعْلَمُ فَأَفْتَوْا بِرَأْيِهِمْ فَضَلُّوْا فَأَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَ ضَلُّوْا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ . إِنَّ نَبِيَّكُمْ لَمْ يَقْبِضْهُ اللهُ حَتَّى أَغْنَاهُ بِالْوَحْيِ عَنِ الرَّأْيِ وَلَوْكَانَ الرَّأْيُ أَوْلَى مِنَ السُّنَّةِ لَكَانَ بَاطِنُ الْخُفَّيْنِ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ ظَاهِرِهِمَا Janganlah kalian duduk dengan orang-orang yang berpegang dengan rasio mereka; karena sesungguhnya, mereka itu musuh Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka tidak mampu memelihara Sunnah. Mereka lupa dalam sebuah riwayat, mereka diserang hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga mereka tidak mampu memahaminya. Mereka ditanya tentang masalah yang tidak mereka ketahui, akan tetapi mereka malu untuk mengatakan,“Kami tidak mengetahui,” lalu mereka berfatwa dengan rasionya, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan orang banyak. Mereka tersesat dari jalan yang lurus. Sesungguhnya Nabi kalian tidaklah diwafatkan Allah, kecuali setelah Allah mencukupkannya dengan wahyu dari rasio. Dan seandainya rasio itu lebih utama daripada Sunnah, niscaya mengusap bagian bawah kedua sepatu khuf, itu lebih utama daripada mengusap bagian atasnya. [12] Yang demikian itu, karena agama ini dibangun diatas dasar ittiba’ mengikuti wahyu, bukan dengan ikhtira’ mengada-ada. Sedangkan rasio, biasanya tercela; karena banyak urusan agama yang tidak bisa dijangkau oleh akal semata. Apalagi akal manusia memiliki perbedaan dalam menjangkau pemahaman dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; meskipun terkadang pendapat itu patut mendapatkan pujian.[13] Abdullah bin Mas’ud berkata,اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ عَلَيْكُمْ بِالْعَتِيْقِIkutilah dan jangan mengada-ada, karena sesungguhnya ajaran syari’at Islam ini telah mencukupi kalian, hendaklah kalian berpegang dengan tuntunan agama yang sediakala. [14] Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhu berkata,كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةًSemua bid’ah itu adalah sesat, meskipun manusia memandangnya baik. [Ibnu Nashr dalam As Sunnah, 82; Al Lalika’i dalam Syarh Ushulul I’tiqad, no. 126; Al Baihaqi dalam Al Madkhal, no. 191, dan sanadnya shahih]Dan selama pembahasan kami tentang “pengaruh perbuatan bid’ah” yang menghalangi seseorang dalam mencari jalan yang lurus, maka saya akan menyebutkan sebuah ucapan Abdullah bin Abbas perihal masalah ini, yang menunjukkan luasnya ilmu para sahabat. Dari Utsman bin Hadhir, ia berkata Aku datang menjumpai Abdullah bin Abbas. Lalu aku berkata kepadanya, أوصيني berilah wasiat kepadaku; diapun berkata,نَعَمْ عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَ الإِسْتِِقَامَةِ وَ الأَثَرِ وَ لاَ تَبْتَدِعْ“Ya , bertaqwalah engkau kepada Allah, istiqamahlah dan berpeganglah pada atsar jejak para salaf, pent. Ikutilah, dan jangan mengada-ada dalam urusan agama. [15] Cobalah anda perhatikan ucapan ini. Dia memadukan dua hal. Pertama, taqwa kepada Allah, yang maknanya sama dengan keikhlasan. Sebab ia dipadukan dengan perintah untuk berittiba’ perintah untuk mengikuti tuntunan Nabi, pent.. Kedua, al ittiba’, yang maknanya mengikuti jalan yang lurus, sebagaimana telah dijelaskan di beliau mengingatkan agar waspada terhadap yang bertolak belakang dengan kedua hal di atas, yaitu bid’ah. Demikianlah mayoritas ucapan para salaf, meskipun singkat, namun selalu mencakup dan membentengi seseorang. Merupakan perangai Salafush Shalih, mereka selalu bersikap tegas dan keras terhadap orang yang mencari-cari ucapan manusia para tokoh untuk menandingi hukum Rasulullah, setinggi apapun kedudukan dan martabat tokoh-tokoh diragukan, bahwasanya beradab dan memelihara kesopanan terhadap para ulama’, mencintai dan mendahulukan mereka atas lainnya, serta tudingan seseorang terhadap rasionya jika disejajarkan dengan pendapat-pendapat para ulama; semua itu perkara yang amat penting. Namun demikian, hal tersebut merupakan persoalan lain. Sedangkan mendahulukan wahyu Al Qur’an dan As Sunnah setelah jelas permasalahannya, juga merupakan perkara lain. Urwah berkata kepada Ibnu Abbas,“Celaka engkau. Engkau telah menyesatkan manusia, karena memerintahkan untuk melakukan ibadah umrah pada sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah, padahal tiada umrah pada hari-hari itu.” Maka Ibnu Abbas berkata,“Wahai Uray [16] Tanyakanlah kepada ibumu.” Urwah berkata, “Bahwasanya Abu Bakar dan Umar tidak pernah berkata berpendapat seperti itu, padahal mereka benar-benar lebih mengetahui dan lebih mengikuti Rasulullah daripada engkau.” Maka dijawab oleh Ibnu Abbas,مِنْ هَهُنَا تُؤْتَوْنَ نَجِيْئُكُمْ بِرَسُوْلِ اللهِ وَتَجِيْئُوْنَ بِأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَDari sinilah kalian didatangi. Kami membawakan kepadamu perkataan Rasulullah, dan kamu membawakan perkataan Abu Bakar dan riwayat lain, Ibnu Abbas berkata kepadanya,أَهُمَا –وَيْحَكَ- آثَرٌ عِنْدَكَ أَمْ مَا فِي كِِتَابِ اللهِ وَمَاسَنَّ رَسُوْلُ اللهِ فِي أَصْحَابِهِ وَأُمَّتِهِCelaka engkau. Apakah mereka berdua Abu Bakar dan Umar, pent, lebih engkau dahulukan ataukah yang tertulis dalam Kitab Allah dan disunahkan oleh Rasulullah bagi sahabat dan umatnya?Dalam riwayat lain, ia bertutur, أُرَاهُمْ سَيُهْلَكُوْنَ أَقُوْلُ قَالَ النَّبِي وَيَقُوْلُ نَهَى أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُKelihatannya mereka akan dibinasakan, aku katakan “Nabi berkata” sedang mereka berkata “Abu Bakar dan Umar telah melarangnya”. [17].Setelah membawakan ucapan Ibnu Abbas di atas, Syaikh Abdurrahman bin Hasan mengatakan,“Dalam ucapan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu terdapat isyarat yang menunjukkan, bahwa seseorang yang telah sampai padanya dalil, lalu tidak mengambilnya tidak mengamalkannya karena bertaklid kepada imamnya, maka orang itu wajib diingkari dengan keras karena sikapnya yang menyelisihi dalil.”[18] Beliau juga mengatakan,”Kemungkaran ini [19]. telah merebak luas terutama dari mereka yang menisbatkan diri kepada ilmu. Mereka telah menancapkan jerat-jerat dalam menghalangi manusia dari mengambil Al Qur’an dan As Sunnah; menghalangi mereka dari mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjunjung tinggi perintah serta larangannya.”Diantara ucapan mereka, “tidak boleh berdalil dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah, kecuali seorang mujtahid, sedangkan ijtihad telah terputus.” Ada juga yang mengatakan, “orang yang aku taklidi ikuti padanya, lebih mengetahui daripada kamu tentang hadits, nasikh dan mansukhnya” serta ucapan-ucapan serupa dengan tujuan akhirnya untuk meninggalkan ittiba’ mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , yang beliau tidak pernah berbicara karena terdorong hawa nafsu, lalu mereka bersandar kepada ucapan orang-orang yang bisa saja berbuat kesalahan. Ada juga diantara imam yang menyelisihi dan mencegah dari perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan berdalih “tiada seorang ulama pun, kecuali yang dimilikinya hanyalah sebagian ilmu, dan tidak semua dikuasainya”.Maka wajib bagi setiap mukallaf orang yang telah terkena beban syari’at, jika telah sampai kepadanya dalil Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah dan telah dipahaminya, untuk berhenti padanya dan mengamalkannya, meskipun ada yang menyelisihinya, sebagaimana firman Allah,اتَّبِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ قَلِيلاً مَاتَذَكَّرُونَIkutilah apa yang diturunkan kepada kamu sekalian dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran daripadanya. [Al A’raf3].FirmanNyaأَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّآأَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَDan apakah tidak cukup bagi mereka, bahwasannya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab Al Qur'an sedang dia dibacakan kepada mereka. Sesungguhnya di dalam Al Qur'an itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. [Al Ankabut51].Dan di depan telah disampaikan perihal ijma’ kesepakatan para ulama’ terhadap yang kami sampaikan ini, serta keterangan, bahwa muqallid orang yang taklid tidak termasuk orang-orang yang berilmu. Demikian pula Abu Umar bin Abdil Barr dan ulama’ lainnya, telah menceritakan ijma’ atas masalah ini. [20].Pengagungan kaum salaf terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, telah sampai pada tingkatan menghunuskan pedang kepada orang yang menolak hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dilakukan oleh Imam Syafi’i. Beliau rahimahullah telah mengadu kepada Al Qadhi pemimpin mahkamah syari’at Abul Bakhturi perihal Bisyir Al Marisi [21]. Beliau berkata,”Aku berdialog dengan Al Marisi tentang mengundi [22].Dia berkata, “Wahai Abu Abdillah, Al Qur’an mengundi itu judi,” maka kudatangi Abul Bakhturi, lalu kukatakan kepadanya,”Aku mendengar Al Marisi berkata, mengundi itu judi,” Abul Bakhturi menjawab,”Wahai Abu Abdillah, ajukan seorang saksi lagi. Aku akan membunuhnya.” Dalam riwayat lain ida berkata,”Ajukan seorang saksi lagi, niscaya akan kuangkatnya pada sebatang kayu, lalu kusalibnya.” [23] Diterjemahkan Oleh Ustadz Mubarak Bamualim, dari Sittu Durar Min Ushuli Ahlil Atsar, karya Syaikh Abdul Malik Bin Ahmad Ramdhani[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]_______Footnote[1]. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/102; Abu Dawud no. 4597; Darimi 2/241; Thabrani 19/367, 88-885; Hakim 1/128; dan yang lainnya. Hadits ini shahih. Juga dikeluarkan oleh Ahmad 2/332; Abu Dawud no. 4596; Tirmidzi no. 2642; Ibnu Majah no. 3990; Abu Ya’la no. 5910, 5978, 6117; Ibnu Hibban 14/6247 dan 15/6731; Hakim 1/6, 128, dan lainnya dari hadits Abu Hurairah, dan Hakim mempunyai beberapa riwayat lain dalam jumlah banyak dari hadits Anas bin Malik, Abdullah bin Amr bin Al Ash, dan yang selainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Tirmidzi; Hakim; Adz Dzahabi, dan Al Jazajani dalam kitab Al Abathil 1/302; Al Baghawi dalam Syarh Sunnah 1/213; Asy Syathibi dalam Al I’tisham 2/698, tahqiq Salim Al Hilali; Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 3/345; Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 4/48; Ibnu Katsir dalam tafsirnya 1/390; Ibnu Hajr dalam Tarikh Al Kasysyaf, halaman 63; Al Iraqi dalam Al Mughni An Hamlil Asfar, no. 3240; Al Bushairi dalam Mishbahuz Zujajah, halaman 4/180; Al Albani dalam Silsilah Shahihah, no. 203, dan yang lainnya. Sangat banyak. Sengaja saya sebutkan ini semua, untuk membuat ahli bid’ah yang berupaya melemahkan hadits yang agung ini, menjadi sia-sia –aku ingin menjadikan mereka bisu. Al Hakim t berkata tentang hadits ini,”Hadits yang agung atau banyak, sebagaimana sebagian ulama telah menempatkannya dalam hadits-hadits yang pokok.[2]. Lihat hadits Iftiraqul Ummah Ila Nayyif Sab’ina Firqah, halaman 67-68.[3]. Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad I/435, dan yang lainnya.[4]. At Tafsir Al Qayyim, halaman 14-15.[5]. Lihat Al Fawa’id, karya Ibnu Qayyim, halaman 223 [6]. Diriwayatkan Abu Ubaid dalam Fadhailul Qur’an, halaman 75; Ad Darimi 2/433; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no 22; Ibnu Dhurais dalam Fadhailul Qur’an, 74; Ibnu Jarir dalam tafsirnya no. 7566 tahqiq Ahmad Asakir; Ath Thabari 9/9031; Al Ajuri dalam Asy Syari’ah, 16; dan Ibnu Baththah dalam Al Ibanah, no. 135; dan riwayat ini shahih.[7]. Atsar shahih, dikeluarkan Ath Thabari, 10 no. 10454; Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab 4/88-89; Ibnu Wadhdhah dalam Al Bida’, no. 76.[8]. Diriwayatkan Imam Malik dalam Al Muwaththa’ 2/899; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no. 68; Al Hakim 1/93; dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam komentar beliau tentang kitab Misykatul Mashabih, no. 186.[9]. Riwayat Ahmad 6/91, 163; dan Muslim 746.[10]. Hadits shahih diriwayatkan Abu Daud, no. 4607; At Tirmidzi, no. 2676; dan yang lainnya[11]. Riwayat Ahmad 4/126; Ibnu Majah, no. 5 dan 43; Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya As Sunnah, no. 48-49; Al Hakim 1/96; dan dishahihkan oleh Al Albani dalam kitab Fi Dhalalil Jannah Fi Takhrij Sunnah.[12]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Zuamanain dalam Ushulus Sunnah, no 8; Al Lalika’i dalam Syarh Ushulul I’tiqad, no. 201; Al Khatib Al Bagdadi dalam Faqih wal Mutafaqqih, no. 476-480; Ibnu Abdil Baar dalam Jami’ Bayanul Ilmi Wa Fadluhu, no. 2001, 2003, 2005; Ibnu Hazm dalam Al Ihkam, 4/42-43; Al Baihaqi dalam Al Madkhal, 312; Qiwamus Sunnah dalam Al Hujjah, 1/205, pada sebagian sanadnya ada yang lemah dan ada pula yang putus. Namun demikian, sebagian sanad dapat menguatkan sebagian yang lain. Oleh karena itu, Ibnu Qayyim mengatakan,“Sanad-sanad ucapan Ibnu Umar ini sangat shahih.” Lihat I’lamul Muwaqi’ien, 1/44.[13]. Lihat perinciannya dalam I’lamul Muwaqi’ien, 1/63 karya Ibnu Qayyim.[14]. Diriwayatkan oleh Waki’ dalam Az Zuhd, no. 315; Abdur Razaq, no. 20465; Abu Khaitsamah dalam Al Ilmu, no. 45; Ahmad dalam Az Zuhd, halaman 62; Ad Darimi 1/69; Ibnu Wadhdhah dalam Al Bida’, no. 60; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no. 78 dan 85; Thabrani 9/8770 dan 8845; Ibnu Baththah dalam Al Ibanah/Al Iman 168-169, 174-175 dan Al Madkhal, no. 387-388; Al Khatib dalam Al Faqih Wal Mutafaqih, 1/43; dan dishahihkan oleh Al Albani dalam ta’liqnya atas kitab Al Ilmu, karya Abu Khaitsamah.[15]. Diriwayatkan Ad Darimi, I/53; Ibnu Wadhdah dal Al Bida’, no. 61; Ibnu Nashr, no. 83; Ibnu Baththah dalam Al Ibanah, no. 200 dan 206; Al Khatib dalam Al Faqih Wal Mutafaqqih, I/173, dari dua jalan yang saling menguatkan.[16]. Nama tasghir kecil Urwah bin Zubair. Wallahu a’lam, pent.[17]. Diriwayatkan Ishaq bin Rahawi Rahwiyah, sebagaimana dalam kitab Al Muthallibul Aliyah, no. 1306; Ibnu Abi Syaibah, 4/103, dan dari jalurnya dikeluarkan oleh Thabrani; Al Khatib dalam Al Faqih Wal Mutafaqqi, 379 – 380 , Ibnu Abdil Baar dalam Jami’ihi, no. 2378 dan 2381; dan dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Al Muthalib; dan dihasankan oleh Al Haitsami dalam Al Mujma’, 3/234; juga oleh Ibnu Muflih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah,2/66.[18]. Lihat pada Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, halaman 338.[19]. Yang beliau maksud dengan “kemungkaran”, yaitu mengesampingkan dalil hanya dikarenakan taqlid kepada imam madzabnya, Pent.[20]. Lihat Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, halaman 339- 340.[21]. Bisyir bin Ghiyats Al Marisi, seorang ahli kalam yang keluar dari ketaqwaan dan sikap wara’. Dia berakidah Jahmiyah golongan yang mengingkari dan menafi’kan sifat-sifat Allah. Dia menyatakan, bahwa Al Qur’an adalah makhluk ciptaan Allah. Oleh sebab itu, dikafirkan oleh sejumlah ulama’, seperti Qutaibah bin Sa’id dan yang lainnya, meninggal tahun 218 H. Lihat Siyar A’lamin Nubala’, 10 / 199, Pent.[22]. Hal ini mengacu kepada hadits Imran bin Husain أَنَّ رَجُلًا أَعْتَقَ سِتَّةَ مَمْلُوكِينَ لَهُ عِنْدَ مَوْتِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ غَيْرَهُمْ فَدَعَا بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَزَّأَهُمْ أَثْلَاثًا ثُمَّ أَقْرَعَ بَيْنَهُمْ فَأَعْتَقَ اثْنَيْنِ وَأَرَقَّ أَرْبَعَةً وَقَالَ لَهُ قَوْلًا شَدِيدًا Bahwasanya seorang lelaki membebaskan enam budaknya ketika ia dihampiri kematian, ia tidak memiliki harta selain mereka, maka Rasulullah memanggil mereka dan membagi menjadi tiga bagian, lalu beliau mengundi diantara mereka, kemudian beliau memerdekakan dua orang dan yang empat tetap sebagai budak dan beliau mengeluarkan kata-kata yang keras terhadap orang. HR Muslim,1668.[23]. Diriwayatkan Al Khalal dalam As Sunnah, 1735; Al Khatib dalam Tarikh Al Baghdad, 7/60, dan sanadnya shahih. Orang yang mengambil suatu perkara atau mengerjakan suatu amalan tanpa mengetahui sumber dalilnya
hanya satu jalan menuju allah